Kamis, 07 Juni 2012

Pandora


Kembali pada dunia mimpi. Ketika perdamaian hanya sebuah imaji. Indonesiaku kini diselimuti api dengki. Penguasa berkonspirasi sana-sini agar  kepentingannya terpenuhi. Tangan-tangan jahanam penuh kemunafikan menjalar hingga titik terpencil nurani.

Nurani tak lagi menjadi tolak ukur sebuah nilai kehidupan. Berbagai cara setan dilakukan demi tercapainya sebuah kepentingan. Kehidupan kini harus dicerna lebih dalam oleh akal pikiran. Kejahatan terbalut baju zirah perjuangan. Kebaikan disingkirkan hingga ke relung paling dalam luasnya lautan. Lautan drama kehidupan.

Organisasi masyarakat yang mengusung tinggi nama sebuah agama semakin gemar merusak diskotek di berbagai wilayah Indonesia. Merusak rumah-rumah peribadatan sahabat beda agama menjadi hobi baru para anggotanya. Bahkan, tangan-tangan mereka tak sungkan menghantam kerasnya kepala seorang waria.

Apa mereka tidak berpikir bahwa waria juga manusia yang memiliki kesamaan hak?

Bagai kotak Pandora yang mematikan ketika diungkap sebagai fakta. Media tak pernah berhasil menuntaskan investigasi untuk membongkar kenyataan dibalik tebalnya baju zirah mereka.

Permusuhan antar umat beragama kian marak di bumi pertiwi kini. Individu bagai tak pernah menelan pil kewarganegaraan saat duduk dibangku sekolah dasar. Nila-nilai moral terbangkalai, perjudian dipertontonkan, dan kemunafikan menjadi makanan sehari-hari yang disajikan sangat menarik oleh media.

Inikah Indonesia yang diimpikan oleh para pendiri bangsa?

Inikah Indonesia yang diperjuangkan oleh beragam suku, ras, dan agama kala itu?

Inikah Indonesia yang tercipta atas semboyan Bhineka Tunggal Ika?

Rabu, 06 Juni 2012

Dibalik caci



Imaji tiada mati ketika pikiran dipaksa kata hati untuk memaki
Memaki sama dengan negatif? Kata siapa?
               
Kini makian telah menjadi acuan untuk menegur si pendosa, seorang yang telah buta, tuli, bahkan bisu untuk berinteraksi dengan darah sendiri.
               
                Dia yang telah buta takkan melihat pekatnya darah
                Dia yang tuli takkan mendengar bagaimana darahnya mengalir
                Dan dia yang bisu takkan pernah berusaha untuk memperbaiki

Lantas apa yang bisa dilakukan kini?
Hanya suara hati dan kebesaran Tuhan dapat menghakimi
Untaian kata sangat berarti bagi mereka yang terdzolimi
Semoga semua berakhir indah pada waktunya, ketika bulan bercengkrama dengan matahari
Tiada henti...

Ruang Awal


Berdiri kokoh sebuah pintu yang penuh dengan gambar dan coretan masa lalu. Penuh kenangan dan cerita-cerita menarik seiring berjalannya waktu. “Maaf Bukan Jalan Umum” sebuah tulisan berwarna putih pada papan kecil berwarna merah yang menyita perhatian ketika melihat pintu tersebut. Papan kecil itu berasal dari sebuah pom bensin di daerah Bandar Lampung hasil dari kenakalanku di masa itu.

Saat pintu itu dibuka tercium aroma apel dari sebuah pengharum ruangan yang bercampur dengan aroma khas rokok putih. Meskipun sudah 2 bulan tidak merokok, namun aromanya masih bertahan di ruangan ini. Warna cokelat muda yang semakin lusuh termakan usia memenuhi ruangan ini. Di tembok sebelah kiri terdapat beberapa poster, yaitu seorang Valentino Rossi, grup music Linkin Park, dan klub sepakbola Arsenal. Tidak lupa beberapa poster kaligrafi khas Saudi Arabia yang dipercaya untuk mengusir setan.

Detak putaran waktu mulai terdengar dari sudut ruangan. Diapit oleh beberapa gambar denah rumah hasil coba-coba tangan sendiri menghiasi jam dinding tersebut. “aaaahhhhhh” semua itu bagai menyejukkan jiwa ketika merebahkan diri ke kasur tanpa dipan yang terletak di bagian kiri ruangan ini.

Merenggangkan badan dan menoleh ke sebelah kanan menatap lemari setinggi 2 meter seakan memanggil sedari masuk ruangan tadi. Terdapat beberapa catatan kecil yang berisi tugas kuliah untuk minggu ini. “DESKRIPSI KAMAR. PENULISAN FEATURE. MAS IBEN. KUMPULIN VIA E-MAIL.” Tulisan itu bagai puting beliung yang dating tanpa permisi dan menyerbu kesejukkan ruangan ini.

Segera aku membuka jendela untuk menghirup udara segar. Suara gemercik air dari sebuah kolam ikan yang terdapat di depan ruangan ikut menjernihkan pikiran. Aku nyalakan speaker aktif yang disambungkan pada laptop untuk mendendangkan lagu-lagu. Diam sejenak serta merenung adalah kegemaramku sebelum mengerjakan sesuatu. Setelah inspirasi itu muncul, langsung aku tumpahkan pada laptop ini. dan semua itu terjadi pada ruangan ini, ruangan pemimpi.

Sebuah ruangan yang dihuni oleh seorang yang hidup dari mimpi. Setidaknya ia masih bisa hidup meskipun hanya dalam sebuah mimpi. Tidak memilih mati tanpa harga diri. Lebih baik mati muda memperjuangkan ibu pertiwi.